-->

SEMANTIK

Semantik adalah ilmu yang mempelajari arti di dalam bahasa. Semantik berkaitan dengan hubungan makna seperti dalam sinonimi, antonimi, dan hiponimi. Teori semantik mempengaruhi ancangan untuk menggambarkan arti dari sebuah kata (Johnson et al. 1999: 286). Semantik merupakan ilmu pengetahuan yang direkam dalam pustaka bahasa dan dalam pola-pola pembentukannya untuk arti yang lebih rumit dan juga lebih luas sampai ke taraf arti dalam kata.
Semantik leksikal adalah telaah tentang arti dari kata secara individual (Brinton 2000: 127). Fromkin et al. (2003: 173) menambahkan bahwa semantik leksikal berhubungan dengan arti kata dan hubungan makna di antara kata. Jadi semantik leksikal mempelajari arti yang bertalian dengan kata, sedangkan semantik gramatikal mempelajari arti dalam satuan bahasa di atas kata seperti frasa, klausa, dan kalimat.
FITUR ARTI
Fitur arti adalah analisis semantis tentang komponen arti yang terkandung dalam suatu kata. Komponen tersebut terangkai untuk membentuk arti kata dengan cara yang berbeda-beda. Dengan demikian, fitur arti adalah bagian dari karakteristik semantis kata. Setiap kata dalam bahasa terdiri atas kumpulan fitur arti yang unik (Brinton 2000: 138). Berikut ini adalah contoh analisis atas komponen dari produk garmen:
(1)        coat                                         jacket                                      shirt
[+ UPPER BODY]                  [+ UPPER BODY]                  [+ UPPER BODY]
[± FULL LENGTH]                 [- FULL LENGTH]                 [- FULL LENGTH]
[± MALE]                                [± MALE]                                [± MALE]
[+ OVER GARM.]                  [+ OVER GARM.]                  [- OVER GARM.]
blouse                                      skirt                                         pants
[+ UPPER BODY]                  [- UPPER BODY]                   [- UPPER BODY]
[- FULL LENGTH]                 [± FULL LENGTH]                 [+ FULL LENGTH]
[- MALE]                                [- MALE]                                [± MALE]
[- OVER GARM.]                   [- OVER GARM.]                   [- OVER GARM.]
Sumber: Brinton (2000: 141)
DENOTASI
Dalam semantik ada konsep denotasi yang berasal dari bahasa Inggris denotation (n) atau to denote (v). Dalam bahasa Indonesia diartikan “merupakan tanda bagi” atau “menunjuk ke”.. Denotasi adalah hubungan antara unit leksikal dengan segala objek di luar konteks (Matthews 1997: 91). Contohnya:
(2)        rumah
menjadi tanda kebahasaan untuk bangunan tempat tinggal yang dibuat dari batu, pasir, semen, kayu, dll.
Denotasi merupakan hubungan antara satuan bahasa dengan satuan maujud (entity) di dunia. Berikut ini adalah tingkatan maujud:
  1. barang yang konkret (entity of the first order)
  2. peristiwa (event) atau proses (entity of the second order)
  3. barang abstrak (entity of the third order)
Denotasi adalah kecocokan antara nama yang kita berikan dengan benda yang ditunjuk. Karena kita mengakui denotasi, akhirnya kita dapat berbahasa. Dalam akal budi, kita mempunyai gambaran atau citra (image) tentang sesuatu yang mungkin bagi tiap orang tidak sama dan sebangun, tetapi kita mengerti apa yang dimaksud berkat denotasi.
Maujud yang ditunjuk disebut denotatum (jamak: denotata). Kumpulan denotata yang ada, yang pernah ada, dan yang akan ada disebut ekstensi. Menurut Trask (1999: 69), ekstensi adalah segala maujud di dunia yang dapat kita terapkan pada objek tersebut.
KONOTASI
Konotasi menurut semantik modern adalah nilai rasa yang ditautkan pada denotasi berdasar pengalaman pribadi, kelompok, maupun masyarakat. Crystal (1999: 82) berpendapat bahwa penggunaan konotasi yang utama dalam satuan leksikal berhubungan dengan asosiasi emosi yang dirasakan oleh seseorang secara pribadi maupun kelompok. Konotasi tidak selalu berkaitan dengan hal yang buruk, tetapi ada nilai rasa yang berhubungan dengan keakraban, keilmuan, keagamaan, dan lain-lain. Nilai rasa tersebut dihasilkan dari asosiasi, contohnya:
(3)        merah jambu
menunjuk pada denotatum warna merah jambu dan juga berkonotasi rasa sayang dan cinta.
Konotasi tidak selalu berarti kiasan dan telah menjadi sumber dari gejala eufemisme dan disfemisme. Selain itu konotasi juga mempengaruhi pemakaian bahasa dan menjadi kajian bidang pragmatik.

REFERENSI
Menurut Matthews (1997: 312), referensi adalah hubungan antara ujaran dengan barang yang ditunjuk yang dapat diidentifikasi dengan baik oleh pembicara/pendengar. Referensi berbeda dari denotasi, denotasi adalah hubungan antara satuan bahasa dengan sebarang maujud di luar bahasa yang dapat diterapi oleh barang tersebut dengan tepat. Dalam referensi kita dapat menunjuk ke seluruh kelas atau genusnya. Cruse (2004: 306) membagi referensi menjadi tiga, yaitu:
  • referensi takrif (definite)
  • referensi tak takrif (indefinite)
  • referensi generik
Referensi Takrif
Menurut Cruse (2004: 308), identifikasi dari referen yang diacu dalam ungkapan yang menggunakan referensi takrif bersifat penting, karena dengan begitu pendengar dapat menyimpulkan referen yang diacu oleh pembicara. Contohnya:
(4)  a. The man gave it to her
b. A man gave it to her
Kedua kalimat diatas menunjukkan seorang laki-laki yang melakukan perbuatan memberi. Perbedaan dari kedua kalimat tersebut adalah pada artikel the dan a. Pada kalimat (2) a, artikel the adalah takrif karena mengacu pada referen yang dapat diidentifikasi (seorang laki-laki ‘tertentu’).
Referensi Tak Takrif
Esensi dari referensi tak takrif adalah identitas dari referen yang diacu tidak memiliki relevansi dan keterkaitan dengan pesan yang disampaikan (Cruse 2004: 308). Contohnya dalam kalimat ‘Ada orang menanyakan alamat’. Referen ‘orang’ adalah tak takrif karena tidak diketahui siapa dan berapa jumlahnya.
Referensi Generik
Menurut Cruse (2004: 311), referensi generik adalah acuan pada seluruh referen. Contoh referensi generik ada dalam kalimat berikut ini: Sapi berkaki empat; Sapi pemakan rumput. Maka dapat dikatakan bahwa ‘apa saja yang disebut sapi berkaki empat’ dan ‘apa saja yang disebut sapi pasti pemakan rumput’.

RELASI MAKNA
Makna kata dalam suatu bahasa saling berhubungan. Hubungan ini disebuat relasi makna, berikut ini adalah jenis relasi makna yaitu homonimi, polisemi, sinonimi, oposisi (antonimi), hiponimi, taksonimi, dan meronimi.
Homonimi
Homonimi adalah relasi antara kata yang sama secara fonologis tetapi maknanya berbeda. Beberapa penulis memerincinya menjadi homograf dan homofon. Homograf adalah kata yang tulisannya sama tetapi maknanya berbeda, contohnya dalam bahasa Inggris: well (baik) dan well (sumur). Homofon adalah kata yang pengucapannya sama tetapi maknanya berbeda, contohnya dalam bahasa Inggris: night (malam) dan knight (ksatria) (Saeed 2003: 63). Ciri dari homonimi adalah kemiripan ejaan atau lafal. Kehomoniman dapat menyebabkan ketaksaan karena dapat ditafsirkan lebih dari satu makna.

Polisemi
Dalam polisemi, berbagai makna yang terkandung dalam kata disangka bertalian. Menurut Matthews (1997: 285), polisem adalah sebuah kata yang mempunyai dua relasi makna atau lebih. Contohnya kata screen yang digunakan secara bervariasi seperti dalam fire screen, cinema screen, dan television screen.
Perbedaan polisem dan homonim dalam dunia perkamusan adalah jika kata tersebut polisem, maknanya diikutkan secara berturut-turut. Sedangkan jika tergolong homonim, kata tersebut diberi tempat yang masing-masing terpisah, misalnya 1well , 2well. Anggota tubuh manusia sering menjadi titik tolak polisemi dalam bahasa Indonesia, contohnnya:
(5) badan à badan usaha, badan hukum, badan pemeriksa, badan pengawas
(6) kepala à kepala surat, kepala daerah, kepala desa, kepala sekolah
(7) mata à , mata pelajaran, mata air, mata uang, mata angin.

Sinonimi
Sinonimi adalah relasi antara kata yang mempunyai makna sama. Bila suatu kata dalam kalimat digantikan dengan sinonimnya – kata yang maknanya sama – maka makna dari kalimat tersebut tidak berubah (Griffiths 2006: 26). Sinonim mempunyai denotasi yang sama tetapi konotasinya berbeda pada penggunaannya. Sinonimi yang terjadi dapat disebabkan oleh perbedaan konotasi dan perbedaan pemakaian dialek. Contohnya orang Amerika biasa menggunakan istilah elevator, sedangkan orang Inggris menggunakan istilah lift.
Bagaimanapun, tidak ada sinonim yang sempurna karena tidak ada bahasa yang maknanya persis sama. Biasanya terdapat perbedaan pada wilayah penggunaannya dan penilaian citarasa (konotasi) serta asosiasi tertentu kepadanya. Misalnya, kata karcis bersinonim dengan tiket, tetapi wilayah penggunaan karcis ada pada kendaraan bus sedangkan tiket digunakan pada pesawat.

Oposisi (Antonimi)
Oposisi adalah relasi antara kata yang memiliki makna berlawanan atau bertentangan. Saeed (2003: 66) membagi hubungan pertentangan menjadi empat jenis, yaitu:
pertentangan biner (binary/complementary)
Dalam pertentangan ini salah satu bagian tidak dapat masuk ke bagian yang lain dan keduanya kecuali-mengecualikan. Hal ini bersifat mutlak. Contohnya:
(8) hidup >< mati
(9) lulus >< tidak lulus
‘kalau saya hidup, saya tidak mati’
‘kalau saya mati, saya tidak hidup’
pertentangan bergradasi (gradable antonym)
Contoh dari pertentangan bergradasi adalah:
(10) kaya >< miskin
(11) panas >< dingin
‘saya kaya, saya tidak miskin’
‘saya miskin, saya tidak kaya’
Tetapi jika dinegasi: ‘saya tidak kaya, saya belum tentu miskin’.
Dalam pertentangan bergradasi, seakan-akan ada rangkaian seperti:
panas – hangat -  suam – sejuk – dingin
‘kamar ini tidak panas, belum tentu dingin, bisa saja hangat’.
Pertentangan yang berbalik (converseness)
Dalam hubungan pertentangan ini terjadi hubungan timbal balik. Contoh dari pertentangan berbalik adalah:
(12) guru >< murid
(13) suami >< istri
‘jika saya guru Ali, Ali murid saya’
‘jika saya suami Ira, Ira istri saya’.
pertentangan yang berlawanan arah (reverse)
Ciri hubungan pertentangan ini adalah menggambarkan perpindahan arah. Kata yang satu berpindah ke suatu arah dan kata yang lain berpindah ke arah sebaliknya, contohnya:
(14) naik >< turun
(15) maju >< mundur
Hiponimi
Hiponimi adalah hubungan kata dengan kata lain yang dicakupi di bawahnya. Fromkin et al. (2003: 184) mengatakan bahwa hiponimi adalah hubungan antara kata yang umum dengan kata yang lebih khusus. Contohnya:
sayur




















bayam              sawi                 kangkung            selada                kol
Sayur termasuk dalam golongan umum yang dikenal dengan istilah superordinat atau hiperonim.
Tipe khusus hiponimi adalah taksonimi, yakni hiponimi yang berjenjang membangun hierarki.
tableware
cutlery                    crockery              table linen
fork     spoon    knife    cup    plate    bowl     tablecloth     napkin
teaspoon    tablespoon   soup spoon                                                     Sumber: Cruse 2004: 181

Dari diagram di atas, kita dapat mengetahui bahwa tableware ada di tingkat pertama, cutlery, crokery, dan table linen ada di tingkat kedua, fork, cup, napkin, dan lain-lain ada di tingkat ketiga dan seterusnya. Jadi, cutlery, crokery, dan table linen hiponim tableware. Fork, spoon, dan knife hiponim cutlery. Tableware superordinat cutlery, crokery, dan table linen. Spoon superordinat teaspoon, tablespoon, dan soup spoon. Hubungan antara cutlery, crokery, dan table linen disebut kohiponim.

Meronimi
Menurut Crystal (1997: 239), meronimi adalah hubungan ‘bagian’ dan ‘keseluruhan’. Dalam meronimi, suatu benda diuraikan menurut unsur-unsur yang membangunnya. Jadi unsur-unsurnya harus lengkap untuk membentuk yang di atas. Contohnya:
rumah
jendela             pintu                 atap                  lantai
Rumah merupakan holonim dan jendela, pintu, atap, dan lantai merupakan meronimnya.         Dalam hal ini meronim berbeda dari hiponim, dalam hiponim berlaku pernyataan ‘sawi sejenis sayur’ tetapi dalam meronim ‘pintu bagian rumah’.

Kebermarkahan (markedness)
Dalam semantik ada konsep kebermarkahan yang terdiri atas bermarkah (marked) dan tidak bermarkah (unmarked). Menurut Fromkin et al. (2003: 182), kebermarkahan adalah ciri lain dari pertentangan bergradasi. Anggota yang tidak bermarkah digunakan dalam pertanyaan untuk menanyakan derajat. Contohnya, pada umumnya kita bertanya “Seberapa tinggi gunung itu?” (bukan “Seberapa rendah gunung itu?”). Lalu kita menjawab “2000 kaki tingginya” tetapi bukan “2000 kaki rendahnya”. Jadi tinggi masuk ke dalam golongan tidak bermarkah dan rendah masuk ke dalam golongan bermarkah. Contoh yang lain:
(16)  a. “Seberapa tampan?” à tidak bermarkah
b. “Seberapa jelek?” à bermarkah
PERAN TEMATIK
Peran tematik adalah hubungan antara verba yang digunakan dalam kalimat dengan frasa nomina yang terdapat dalam kalimat itu. (Fromkin et al. 2003: 192). Hubungan itu bergantung pada makna dalam verba tersebut. Contohnya FN the boy pada the boy found a red brick disebut agen (agent) atau penindak (doer) dari perbuatan finding. FN a red brick adalah tema (theme) yang terkena tindakan found.
Jika kita menggunakan verba put, peran tematiknya adalah tema dan tujuan (goal). Pada frasa put the red brick on the wall, the red brick adalah tema dan on the wall adalah tujuan. Frasa tersebut dapat kita artikan tema put mengubah posisinya menjadi tujuan. Subjek dari put merupakan penindak, maka dalam kalimat The boy put the red brick on the wall, ‘the boy’ melakukan tindakan. Pengetahuan yang dimiliki penutur tentang find dan put dapat ditunjukkan dalam leksikon:
find, V, _____ NP, (Agent, Theme)
put, V, _____ NP PP, (Agent, Theme, Goal)
Fromkin et al. (2003: 192) menyebutkan beberapa peran tematik seperti yang terdapat dalam tabel berikut ini:                           Tabel 1. Thematic Role
Thematic Role Description Example
Agent The one who perfoms an action Joyce ran
Theme The one or thing that undergoes an action Mary found the puppy
Location The place where an actions happens It rains in Spain
Goal The place to which an action is directed Put the cat on the porch
Source The place from which an action originates He flew from Iowa to Idaho
Instrument The means by which an action is performed Jo cuts hair with a razor
Experiencer One who perceives something Helen heard Robert playing the piano
Causative A natural force that causes a change The wind damaged the roof
Possessor One who has something The tail of the dog wagged furiously
Sumber: Fromkin et al. (2003: 192)
PARAFRASA
(17) a. The horse threw the rider
b. The rider was thrown by the horse
Kalimat (17) a parafrasa kalimat (17) b jika keduanya memiliki kebenaran yang sama (Fromkin et al. 2003: 197). Apabila pernyataan pertama benar dan pernyataan kedua juga benar, maka ada perikutan. Apabila pernyataan pertama salah, pernyataan kedua juga salah, tanpa kecuali. Selain dengan mengubah kalimat aktif menjadi pasif, cara lain memparafrasa adalah dengan menggunakan kosa kata yang kurang lebih sama dalam struktur sintaktis yang berbeda. Contohnya:
(18) It is easy to play sonatas on this piano
This piano is easy to play sonatas on
On this piano it is easy to play sonatas
Sonatas are easy to play on this piano

PERIKUTAN
Menurut Cruse (2004: 28), dalam perikutan terjadi hubungan antara dua proposisi, jika proposisi pertama benar dan yang kedua juga benar, maka terjadi perikutan. Contohnya:
(19)a.   Jam ini terbuat dari emas dan berlian
  1. Jam ini mahal
‘Jam ini mahal’ adalah perikutan dari ‘Jam ini terbuat dari emas dan berlian’.
‘Jam ini terbuat dari emas dan berlian’ memperikutkan ‘Jam ini mahal’.
Jika (19) a benar, (19) b benar. Yang dipentingkan adalah kebenaran yang satu mengikuti kebenaran yang lain. Lawan dari perikutan adalah praanggapan.
PRAANGGAPAN
Dalam praanggapan kita mempraanggapkan sesuatu benar, kita berpendirian bahwa sesuatu sebelumnya benar. Contohnya pada kalimat ‘Roni tidak merokok lagi’ kita berpraanggapan bahwa sebelumnya ‘Roni suka merokok’. Dalam contoh lain misalnya ungkapan ‘I’m sorry John is not here’ mempraanggapkan ‘John is not here’; tentunya hal ini diketahui oleh pembicara atau pendengar. Selain itu kalimat ‘I apologize for calling you a communist’ mempraanggapkan bahwa dalam kepercayaan pembicara maupun pendengar, menjadi seorang komunis adalah sesuatu yang buruk. Dalam semantik generatif, praanggapan kalimat penting bagi representasi makna (Matthews 1997: 294).
Tag : Education
Back To Top