-->

Anak 6 Tahun yang Terpaksa Hidup Sendiri

Siapa yang mau mewarisi penyakit menular yang mematikan dari kedua orangtua? Namun jika itu dialami, apa yang bisa dilakukan? Jangankan anak kecil, orang dewasa pun pasti menderita, apalagi jika harus dikucilkan.
Pengalaman pahit seperti itu harus diterima oleh A Long, yang tinggal di perbukitan dekat Desa Niuchepin, yang terletak di kaki Gunung Malu, Liuzhou, Provinsi Guangxi, China.
Pada tahun 2004, ia tak tahu separah apa penyakit bawaan yang dideritanya. Tetapi, ibu dan ayahnya meninggal (berturut-turut pada tahun 2009 dan 2010) dengan gejala penyakit yang sama persis dengan gejala orang yang terkena AIDS. Dugaan itu terbukti benar setelah tim dokter dari rumah sakit memeriksa dan memberikan pernyataan.
Kabar tersebut dengan cepat menyebar dan membuat A Long dikucilkan. Karena takut tertular, orang-orang di daerah situ hanya mengamati kehidupan A Long dari kejauhan sambil sekali-sekali memberi bantuan makanan.
Satu-satunya yang masih mau mendekati A Long adalah neneknya yang berusia 84 tahun. Itu pun si nenek mengaku takut menemaninya lama-lama karena khawatir akan tertular AIDS. Ia hanya datang sekali-sekali, memasakkan, dan menanam sayuran di halaman untuk keperluan A Long. Selebihnya, memilih menjauh.
A Long sendiri tak mengeluh. Meski hidup sendirian ia bisa menerimanya. Ia sering tampak gembira bermain bola sendirian di pelataran di depan rumahnya yang lapang. Pernah ada teman lamanya yang mau menemaninya. Namun segera dicegah orangtuanya.
Yang lebih tragis, sekolah menolak kehadiran atas desakan para orangtua murid lain. Ada yang menyebutkan, jika A Long bersekolah di sana, mereka akan memindahkan anaknya ke sekolah di desa lain. Pengurus sekolah di sana merasa tak punya pilihan lain, selain menolak A Long. Akhirnya A Long benar-benar dikucilkan. Ia hanya punya teman seekor anjing yang diberinya nama Lao Hei.
 Dengan hidup sendiri ia praktis belajar kehidupan sendiri. Ia mencoba belajar masak sendiri, mencuci baju, mencari kayu bakar, dan sebagainya. Dalam memasak, misalnya, ia mencoba dengan mengingat apa yang dilakukan orangtuanya tanpa tahu takaran yang tepat. Kadang ia menanak nasi dengan jumlah air yang kebanyakan.

Selain itu saat memasak sayur, ia lakukan tanpa bumbu dan garam. Ia hanya memasukkan sayuran ke dalam panci, ditambah air, lalu dimatangkan di atas tungku. Setelah itu dimakan dengan nasi. Meski terasa tawar, A Long menikmati makannya dengan lahap.
Pernah suatu kali tangannya terluka karena tak hati-hati saat memasak. Tangannya menyentuh panci yang panas. Ia tak meminta bantuan tetangga. Namun saat ada tetangga yang mau membawanya ke dokter, dokter justru tak mau memeriksanya karena takut tertular. A Long hanya diberikan salep obat.
Hari demi hari kehidupan berat itu harus dialaminya. Ia mulai bisa memasak dengan caranya sendiri. Ia mencari kayu bakar sendiri. Tak jarang harus memanggul batang kayu lumayan besar untuk dibawa pulang dan dipotong-potong di rumahnya dengan alat-alat peninggalan ayahnya.
***
Cerita mengenai A Long yang hidup sendirian saat usianya masih 6 tahun, akhirnya menarik sejumlah media untuk meliputnya. Tak lama kemudian profil A Long muncul di sejumlah koran.
Banyak orang yang tersentak mengetahui nasib buruk yang dialami anak malang itu. Setelah itu sejumlah bantuan mengalir kepadanya termasuk dari pemerintah. Bantuan datang mulai dari kiriman makanan, pakaian, koran, uang. Bahkan ada lembaga yang menggagas untuk membangunkan rumah di sana.
Tahun 2011 ini, syukurlah, tempat tinggal yang layak untuk A Long sudah dibangun (ada bantuan dari lembaga sosial). Ada kamar tidur, ruang keluarga, dan kamar mandi. A Long pun telah mendapat perawatan intensif dan tengah diupayakan untuk bisa sekolah lagi.
Semoga true-story ini bisa memberi inspirasi bagi para netter sekalian, juga menyentuh hati terdalam kita semua, sebagai manusia. Cukup tengok keadaan di sekitar kita, mungkin ada "A Long" lainnya. Perhatian ataupun uluran tangan kita tentu akan sangat berarti. (sumber)
Tag : fakta unik
Back To Top